Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Alam diciptakan untuk manusia dan manusia berkaitan erat dengan alam. Meski alam menyadari kedudukan dan tugasnya terhadap manusia, namun manusia acapkali melupakan kedudukan dan tugasnya terhadap alam. Akibatnya, manusia menjadi lupa terhadap pesan Allah melalui alam.
Alam semesta merupakan ayat-Nya yang diperuntukan untuk manusia. Ayat yang seyogyanya “dibaca” secara bijak untuk menghadirkan karakter kemuliaan. Sebab melalui alam, Allah sampaikan pesan agar manusia menemukan hikmah untuk mengenal-Nya (ma’rifat Allah). Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS. Ali Imran : 190).
Tanda-tanda yang ditunjukan-Nya merupa-kan isyarat (perintah) agar manusia lebih mengenal-Nya. Hanya dengan mengenal-Nya, manusia akan menjadi hamba yang mencintai-Nya. Pepohonan merupakan salah satu ciptaa-Nya untuk manusia. Bukan sebatas manfaat yang dihadirkan, tapi menghadirkan pesan-Nya. Untuk itu, tak heran bila Allah berulangkali meng-gunakan kata pepohonan (berikut varian-nya). Menurut Jamaluddin Husein Mahran, al-Qur’an menyebutkannya dalam 112 ayat yang tersebar pada 47 surah. Bahkan, terdapat 16 jenis tanaman yang disebut-kan secara eksplisit dalam Al-Qur’an. hal ini menunjukan luasnya pesan Allah yang ingin disampaikan melalui pepohonan. Di antara pesan karakter yang dapat diambil antara lain :
Pertama, Akar menjelaskan sosok karakter manusia setia dan bertanggungjawab. Ia tak pernah meninggalkan tanah tempatnya berpijak, tak pernah menonjolkan diri atas apa yang dilakukan, selalu berbagi nutrisi (kebahagiaan) ke seluruh pohon. Ia hadir memberi manfaat pada seluruh unsur pohon. Manusia pemilik karakter akar merupakan manivestasi sabda Rasulullah SAW : “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).
Alangkah mulia pemilik karakter akar. Tak pernah menonjolkan diri, padahal berperan dominan. Semakin akar menyembunyikan dirinya, semakin kokoh pohon menyangga dahan, ranting, bunga, dan buah. Ia sadar, bila “kesombongan” yang dikedepankan, maka seluruh batang pohon akan mudah tumbang dan patah.
Dalam al-Quran, semua makhluk yang memiliki karakter akar yang menjunam ke tanah akan memperoleh kemuliaan. Mereka adalah para malaikat, nabi dan Rasul, wali Allah, dan hamba pilihan-Nya (QS. al-Furqan). Sementara makhluk yang memperlihatkan “akarnya” (sombong) akan memetik kehinaan. Mereka adalah iblis (QS. al-A’raf : 12, QS. Shad : 75-76, dan QS. Al-Hijr : 33), Namrudz (QS. al-Baqarah : 258), Fir’aun (QS. an-Nazi’at : 24), Qorun (QS. Qashash : 76), kaum ‘Ad (QS. Fussilat : 15 dan QS. az-Zariyat : 41-42), kaum Tsamud (QS. al-A’raf : 73-79), dan lainnya. Hal ini berlaku pada semua manusia sampai akhir zaman. Meski demikian, manusia acapkali melupakan dan semakin angkuh. Keangkuhan dan kesombongan yang hanya berbeda pada waktu, tempat, bentuk prilaku, dan pelaku. Namun, secara substansi ternyata sama, bahkan melebihi prilaku kesombongan hamba yang telah dinyatakan dalam al-Quran.
Kedua, Batang, kulit, dan ranting menjelas-kan sosok karakter manusia “apa adanya”. Ia tegak sekuat tenaga membantu akar melaksanakan tugasnya. Kulit hadir menutupi mulai akar, batang, dan ranting. Meski tampil kepermukaan, ketiganya selalu berusaha membantu akar untuk melaksanakan tugasnya mempertahankan kekuatannya melaksanakan fungsi untuk melindungi dan memberi asupan gizi pada daun dan buah.
Batang, kulit, dan dahan (ranting) bahagia bila mampu menghadirkan daun dan buah yang lebat. Ia percaya bahwa kebaikan yang diberikan akan kembali padanya. Sebab, tatkala daun gugur dan musim buah telah usai, petani akan memberinya pupuk untuk sehat kembali. Seakan, ia mengimplementasikan firman Allah : “Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. al-Isra’ : 7).
Ayat di atas secara sederhana dijelaskan Ibnu Katsir bahwa setiap berbuat kebaikan akan berbuah kebaikan untuk diri sendiri. Sedangkan berbuat kejahatan hanya akan merugikan diri sendiri.
Ketiga, Daun, bunga, dan buah menjelas-kan sosok karakter manusia “ada apanya” (maksud tersembunyi). Kehadirannya tergantung jenis musim. Bila musim gugur, daun meninggalkan ranting. Bila musim semi tiba, daun nenghijau memenuhi ranting. Begitu pula buah yang dihasilkan. Bila musim buah, seluruh ranting seakan tak sanggup menahan untaian buah yang bergelayutan. Tapi, tatkala buah matang atau musim buah berakhir, maka ia akan meninggalkan dahan, ranting, batang, kulit, dan akar.
Bila ditarik pada karakter manusia, pemilik sifat “ada apanya” akan hadir secara musiman. Ia tampil dengan daun yang rindang dan buah yang seakan menjanji-kan manis dan ranum. Namun, setelah musim berlalu, ia akan meninggalkan pohon tegak sendiri. Ia akan kembali bila musimnya tiba. Manusia pemilik karakter “musiman” perlu diwaspadai. Ia hadir bila “pohon” menjanjikan “nutrisi”. Tapi, ketika pohon tak lagi memberi manfaat, ia akan tinggalkan pohon yang sebelumnya telah memberinya manfaat. Ia hanya meninggal-kan luka pada batang, dahan yang patah, kulit yang terkelupas, bahkan akar yang terangkat kepermukaan.
Bila daun berguguran dan buah berjatuhan, akar dengan setia mengobati batang, kulit, dan dahan (ranting). Ia tak pernah meng-khianati, tapi selalu memberi nutrisi agar batang, kulit, dan dahan sehat kembali.
Sementara berbeda dengan karakter manusia. Bila “nutrisi” telah diperoleh, ia “bergelantungan” tak ingin jauh dari pohon. Keindahan “daun dan tampilan buah ranum” begitu mendominasi dan memukau. Manusia terpesona dengan rimbunnya daun dan lebatnya buah tanpa banyak peduli dengan akar, batang, dan dahan (ranting). Padahal, kehadiran daun, bunga, dan buah “bersandar” pada akar, batang, dan dahan. Manusia terkesima dengan buah yang ranum, padahal belum tentu sehat tak berulat. Tampilan buah yang terlihat ranum tapi berulat merupa-kan tampilan manusia munafik. Sifat munafik ini diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika dipercaya, ia berkhianat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun, tatkala pohon busuk atau harapan-nya tak tercapai, ia akan melancarkan fitnah dan kebencian atas pohon yang sebelumnya “diagungkan”. Sifat ini sangat dibenci oleh Allah. Hal ini dinyatakan melalui firman-Nya : “…..fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan…..” (QS. al-Baqarah : 191).
Menurut Abu Malik, makna ayat di atas mengingatkan bahaya penyebar fitnah melebihi bahaya pembunuhan. Ia akan menjadi penyebab timbulnya permusuhan pada sesama. Sifat yang sangat dicela oleh Rasulullah. Hal ini dinyatakan pada sabdanya : “Sesungguhnya setan telah berputus asa untuk disembah di Jazirah Arab, tetapi ia tidak berputus asa untuk menimbulkan permusuhan di antara mereka” (HR. Muslim).
Demikian bahaya penyebar fitnah. Ia puas bila sesamanya saling bermusuhan. Sifat yang demikian merupakan karakter setan yang berwujud manusia. Meski hadis di atas begitu jelas, namun manusia seakan tak pernah peduli. Menyebar fitnah seakan menjadi hobi dan ruang “profesi”. Padahal, “mentalitas penyebar fitnah merupakan pilihan manusia pengecut dan wujud pemilik intelektual rendahan”.
Karakter manusia “daun, bunga, dan buah” selalu hadir sepanjang sejarah. Ia tampil terdepan bila musim semi dan buah tiba. Prilakunya “mengampu” dengan kata nan indah. Tapi, bila musim berubah, ia akan tinggalkan pohon seakan tak pernah di-kenalnya.
Keempat, Meski benalu bukan bagian pohon, tapi kehadirannya acapkali merugi-kan pohon. Benalu yang menumpang hidup di pohon melambangkan manusia “asal ada yang diperoleh”. Ia hadir hanya sebatas mencari hidup melalui nutrisi (keuntungan) pada “tumpangan” tanpa memberi manfaat dan tak peduli derita yang ditumpangi.
Meski daun dan buah hadir sesuai musim (musiman), tapi masih memberi manfaat bagi pohon dan makhluk lainnya. Sementara kehadiran benalu justru hanya memberi mudharat tanpa manfaat bagi semua unsur pohon yang ditumpangi. Karakter ini sangat dibenci dalam Islam. Hal ini merujuk pada sabda Rasulullah : “Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allah akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allah akan menyulitkannya” (HR. Hakim dan Baihaqi).
Sungguh, tak ada pohon yang suka benalu. Tapi, anehnya manusia –kalanya– justeru senang menjadi benalu dan “memelihara benalu”. Tak pernah berusaha, tapi hanya ingin nenikmati. Sungguh, manusia benalu tampil “putih dan anggun” seakan tanpa dosa. Adanya hanya indah dan anggun di mata. Retorikanya begitu meyakinkan, tapi penuh kepalsuan(kemunafikan). Bahkan, disebalik senyumannya hanya menyebar racun penderitaan pada sesama.
Selama benalu sekedar menempel pohon, terbuka peluang untuk dibuang atau dilokasir dampaknya. Tapi, bila akar, batang, kulit, dahan (ranting), daun, dan buah berubah menjadi benalu, tak ada lagi tersisa harapan pohon bisa hidup dan memberi manfaat. Bahkan, tanah dikhawatirkan ikut berubah menjadi benalu. Ketika kondisi ini terjadi, punah harapan hadirnya perubahan (kebaikan).
Langkah bijak dan terukur perlu dilakukan untuk mengenal jenis benalu. Tindakan cepat perlu dikakukan untuk melokalisir perkembangan (tumbuh) benalu. Kehadir-an benalu bagai kawanan anai-anai yang bisa merobohkan bangunan. Memberikan-nya kesempatan hidup (meski sepasang) merupakan bencana (mudharat). Upaya tepat dan bijak hanya dengan memusnah-kannya. Dalam kaedah fiqh disebutkan “mudharat yang lebih berat, harus dihilang-kan dengan memilih mudharat yang lebih ringan”.
Kaedah fiqh di atas merupakan pendekat-an bijak, baik preventif maupun curatif. Melalui timbangan ini, dimungkinkan terwujudnya kemashlahatan secara kolektif (rahmatan lil ‘alamin). Namun, ketika timbangan kaedah ini dinafikan dengan mengedepankan kolusi dan nepotisme kepentingan, maka gumpalan kemudharatan akan terus menggelinding bak bola salju. Pada saatnya, ia akan ber-ubah menjadi bom waktu yang akan mele-dak menghancurkan bangunan peradaban dan kemanusiaan.
Sungguh, sebatang pohon menghadirkan pelajaran berarti. Sehatnya sebatang pohon dimungkinkan bila akar terbenam menghunjam ke “perut bumi”. Meski pohon telah tua dan keropos, melalui akar yang sehat ia mampu mensuplai gizi pada seluruh tubuh untuk menghasilkan daun dan buah yang lebat. Sebatang pohon tua yang sehat menyampaikan pesan motivasi dan nasehat. Meski manusia telah tua, bila hati senantiasa suci (sehat), ia akan selalu memberi manfaat pada sesama. Tapi bila hati telah kotor (rusak), meski usia masih muda tapi hanya menyebar kebencian dan mudharat. Ia hanya sebatas sampah yang mengotori atau benalu yang mematikan pohon peradaban dan nilai kemanusiaan.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 24 Februari 2025