Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Bagi pemilik iman hakiki kehadiran bulan ramadhan sangat dinanti. Bukan hanya untuk meningkatkan amaliah, tapi media mengukur kualitas ketakwaanya (QS. al-Baqarah : 183). Kerinduan atas datangnya bulan sejuta pahala (kebaikan) mampu meningkatkan motivasi, energi, dan harapan yang berlipat. Sebab, janji keutamaan ramadhan begitu jelas terlihat pada nama yang disematkan padanya, antara lain : bulan keberkahan (syahrul mubarak), bulan diturunkan-Nya al-Quran (syahrul Quran), bulan kesabaran (syahrul shabr), bulan ibadah (syahrul ‘ibadah), bulan kedermawanan (syahrul jud), bulan kebaikan (syahrul khair), bulan pengampun-an (syahrul maghfirah), dan lainnya. Sungguh ramadhan bulan kedamaian dan keberkatan bagi hamba yang ingin menggapainya.
Dalam sejarah Islam, ditemukan catatan telah terjadi peperangan pada bulan ramadhan antara lain : perang Badar (tahun 2 H), perang Khandaq (tahun 5 H), Fathul Makkah (tahun 8 H), perang Tabuk (tahun 9 H), dan perang ‘Ain Jalut (tahun 1260 M). Semua peperangan ini terjadi karena dipicu oleh pihak kafir (Quraish, Byzantium, dan Mongol). Posisi tentara Islam sebatas membela diri dan agama semata. Hal ini dinyatakan melalui firman-Nya : “Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi karena sesungguh-nya mereka dizalimi” (QS. al-Hajj : 39).
Ibn Katsir menjelaskan bahwa melalui ayat di atas, Allah memperbolehkan melaku-kan peperangan di bulan ramadhan sebagai bentuk pembelaan diri. Sebab, mereka diposisi teraniaya (terzalimi). Untuk itu, Allah berjanji akan memberi pertolongan bagi mereka yang teraniaya dengan kemenangan yang nyata. Meski musuh lebih dominan dengan senjata yang lengkap, tapi mereka tak akan pernah memperoleh kemenangan atas apa yang dilakukan.
Sungguh, Islam adalah agama damai (QS. an-Nisa’ : 114). Berbuat baik merupakan salah satu wujud perdamaian. Demikian pula sebalik-nya, bila berbuat zalim dan fitnah merupakan salah satu wujud keingkaran atas ajaran Rasulullah. Hal ini berarti ia sedang mendustakan Islam dengan mengikuti prilaku Iblis yang senang pada permusuhan.
Pada bulan ramadhan, umat hanya fokus menjaga prilaku umum (tataran syariat) yang membatalkan puasa. Tapi, manusia alpa menjaga sifat dan prilaku yang me-lemahkan iman dan mengotori hatinya. Indikasi lemahnya iman dan mengotori kesucian ramadhan dapat terlihat pada beberapa indikasi umum, antara lain mem-perteguh kezaliman, kesombongan, fitnah, kemunafikan, ghibah, kerakusan, khianat, kelicikan, dan varian lainnya. Kondisi ini menjadikan puasa tanpa nilai dan bekas. Hal ini diingatkan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Berapa banyak orang yang berpuasa, tidak mendapat pahala puasa kecuali hanya lapar dan hausnya saja” (HR. an-Nasai dan Ibn Majah).
Paling tidak, ada beberapa dimensi damai yang perlu dimiliki, antara lain :
Pertama, Berdamai dengan diri. Manusia acapkali memahami kata “damai” dalam konteks diri dan orang lain. Padahal, manusia lupa untuk mendamaikan diri sendiri. Secara sederhana, damai dengan diri merupakan keadaan ketika seseorang dapat menerima segala hal tentang dirinya, termasuk kelebihan dan kekurang-an, kebaikan dan kesalahan, atau kekuatan atau kelemahannya. Di sisi lain, damai dengan diri ketika ikhlas mengakui kelebihan dan kebaikan orang lain.
Dalam Islam, setiap perbuatan akan ber-dampak pada diri. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri” (QS. al-Isra’ : 7).
Menurut tafsir, ayat di atas menjelaskan bahwa perbuatan baik dan buruk akan kembali (mendatangkan) pada mereka yang berbuat. Bila baik, maka akan dibalas baik. Sebaliknya, bila buruk, maka akan dibalas dengan keburukan pula. Sungguh, setiap yang ditanam pasti akan memanen. Ketika terhadap diri saja tak mampu “berdamai”, bagaimana mungkin ia akan mampu mendamaikan elemen di luar dirinya. Berdamailah dengan diri agar bisa berdamai dengan yang lain.
Kedua, Berdamai dengan Allah dengan menyadari kesalahan yang dilakukan (taubatan nasuha) agar terbuka hijab hamba dan Rabb. Upaya ini menghadirkan dimensi penghambaan sesuai ajaran yang disampaikan Rasulullah. Melalui pendekat-an ini, hadir kesadaran bahwa dosa akan menjadi tembok pemisah dan taubat yang akan menyatukan hamba dan Khaliqnya. Untuk itu, setiap gerak hati dan jasad perlu selalu membangun komunikasi dengan Allah dan merasakan kedekatan hamba dengan Allah yang tak berjarak.
Fenomena yang terjadi, acapkali dosa menjadi tembok dan bentuk “perlawanan” dengan-Nya. Kalanya, Allah sebatas senda gurau dengan menipu sesama atas nama-Nya. Ia bersumpah melaksanakan amanah dengan jujur dan amanah, tapi sebenarnya hanya sebatas lipstik belaka. Sungguh ia telah menipu dan melakukan perlawanan dengan Allah. Sifat dan prilaku ini sangat dibenci oleh Allah. Hal ini tertuang pada firman-Nya : “Dan janganlah kamu jadikan sumpah (memakai nama) Allah sebagai alat untuk menghalangi kamu dari berbuat baik, bertakwa dan mengadakan perdamaian di antara manusia” (QS. Al-Baqarah : 224).
Sungguh, bila terhadap Allah Yang Maha Mengetahui manusia secara sadar melakukan pengkhianatan, apatahlagi dengan sesama makhluk. Untuk itu, jangan jadikan Allah sebagai alasan untuk berbuat zalim, khianat, munafik, fitnah, dan kejahat-an lainnya kepada sesama. Untuk itu, wujud “berdamai” dengan Allah hanya dapat dilakukan melalui taubat an-nasuha.
Ketiga, Berdamai dengan manusia dan alam. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Yusuf : 40-41).
Sementara pada ayat lain Allah telah berfirman : “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan” (QS Al A’raf : 56).
Andai di bulan ramadhan yang suci masih melakukan prilaku keburukan, maka sulit diharapkan hadir semisal kebaikan di luar ramadhan. Untuk itu, perlu kesadaran diri bahwa apa yang diperoleh di dunia sangat terbatas. Gunakan akal dan hati untuk memahami pesan Ilahi. Dengan cara ini, manusia mampu berpikir dan mengatur ulang porsi waktu, tenaga, dan pikiran yang pantas dicurahkan hanya untuk Allah semata. Hal ini diingatkan melalui firman-Nya : “Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibandingkan dengan kehidupan di akhirat hanyalah sedikit (QS. at-Taubah : 38)
Perbandingan atas ayat di atas dijelaskan oleh Rasulullah melalui sabdanya : “Demi Allâh ! Tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, lalu hendaklah dia melihat apa yang dibawa jarinya itu ?” (HR. Muslim).
Bila hadis di atas mampu menjadi renungan dan dilaksanakan, maka tak ada kesombong-an hadir dalam kehidupan. Sebab, semua nikmat yang dimiliki dan amaliah yang dilaku-kan hanya sebatas “air yang ada dijarinya”. Bandingkan dengan air laut yang melam-bangkan kehebatan kuasa dan nikmat Allah.
Hanya manusia yang mampu berdamai dengan diri, Allah, dan manusia (alam) yang akan menemukan kenikmatan ramadhan dan meraih semua keutamaan yang dijanjikan-Nya. Hal ini dinyatakan Rasulullah dalam sabdanya : “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan penuh keberkahan. Allah SWT telah berjanji kepada kalian berpuasa di dalamnya, di bulan itu pintu-pintu langit akan terbuka dan pintu-pintu neraka akan tertutup, dibulan itu setan-setan melekat, di bulan itu ada malam yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa terhalang mendapatkan kebaikannya maka sungguh ia telah tertutup.” (HR An-Nasa’i).
Setiap umat Islam yang beriman, seyogya-nya mampu menjaga nilai ramadhan sesuai nama-nama yang disebutkan di atas. Keberhasilan umat menjaga nilai-nilai ramadhan di bulan ramadhan, setidaknya mengindikasikan hadirnya iman pada dirinya. Namun, tatkala di bulan ramadhan saja nilai-nilai substansinya dipermainkan dan didustakan, apatahlagi bila ramadhan berakhir mungkin akan semakin parah.
Bulan ramadhan menghadirkan nilai ke-setaraan kemanusiaan. Semua merasakan “derita” lapar dan haus. Seyogyanya, nilai ini hadir pada seluruh dimensi. Hadir rasa yang sama bila disakiti agar tidak menya-kiti, difitnah agat tidak memfitnah, dilukai agar tidak melukai, dizalimi untuk tidak menzalimi, dipersulit agar tidak memper-sulit, dikhianati untuk tidak nengkhianati, dan varian lainnya.
Setidaknya, ada 4 (empat) fenomena sikap manusia ketika bertemu ramadhan, antara lain : (1) kehadiran ramadhan dianggap sama dengan bulan lainnya. Tak ada perubahan sedikit jua, baik amaliah maupun prilaku. (2) bulan ramadhan hadir sebatas rutinitas alamiah yang dijadikan kesempatan untuk menampilkan kesaleh-an agar tertutupi semua kesalahan. Andai selama ramadhan sebatas menahan “lapar dan dahaga”, dianggap kewajaran. Ia yakin akan bisa bertemu ramadhan yang akan datang untuk beribadah dan berbuat lebih baik. (3) memanfaatkan ramadhan hanya sebagai kesempatan untuk melakukan “transaksi” antara hamba terhadap Allah. Indikasi transaksi terlihat pada prilaku ketika bulan ramadhan tiba. Begitu gegap gempita amaliah dilakukan, bahkan dengan intensitas yang sangat tinggi. Malam seribu bulan (lailatul qadar) selalu ditunggu dengan sejumlah amaliah. Hal ini bernilai positif bagi dakwah dan syi’ar Islam. Namun, kalanya hanya bertujuan untuk mengharap pahala berlipat ganda yang dijanjikan-Nya. Tapi, ianya tak pernah mampu bertahan dan membekas setelah ramadhan. Ketakwaan hamba terlihat pada setiap “bekas” amalnya. Andai nilai ramadhan mampu dipertahankan, nilai kedamaian semesta akan terwujud. (4) menjadikan ramadhan sebagai pertemuan atau kesempatan terakhir baginya. Kesempatan yang men-dorongnya “memeluk erat” ramadhan dan melakukan amaliah penuh keikhlasan seakan tak lagi bertemu dengan ramadhan yang akan datang. Hal ini sesuai ungkapan Sayidina Ali bin Abi Thalib agar “berbuatlah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selama-nya, dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati besok”. Sebab, tak ada makhluk yang mampu memastikan bisa bersua kembali dengan bulan ramadhan. Untuk itu, bila ramadhan tiba, kehadirannya disambut bahagia, “dipeluk erat” dengan amaliah berkualitas, berharap “cinta-Nya” agar membekas pada karakter diri. Manusia tipikal ini akan memperoleh hakikat puasa dengan menyebarkan nilai kedamaian pada diri, merasakan bersama Allah untuk melaksanakan fungsi peng-hambaan dan kekhalifahan di muka bumi.
Sungguh, Allah memberi pilihan-pilihan pada semua manusia. Tergantung kualitas iman (hati) dan ilmu (akal) manusia untuk memilihnya. Namun, setiap pilihan memiliki konsekuensi. Pilihan bijak hanya mampu diambil oleh manusia pemilik iman hakiki (kualitas ulul al-baab). Sosok pemilik akal sehat, berhati bersih, cerdas, bijaksana, mampu menangkap pesan-Nya dan “menghadirkan-Nya” dalam diri (bukan sebatas ingat) untuk melaksanakan semua perintah-Nya.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 3 Maret 2025