Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar STAIN Bengkalis
Setiap berakhir ramadhan, syahdu syawal pun menjelang. Seluruh umat merayakan hari kemenangan nan fitri. Sebab, ia telah kembali kepada fitrah-Nya yang suci, serta momen untuk saling memaafkan dan mempererat tali silaturrahim, terutama keluarga dan kerabat.
Euforia kebahagiaan menyambut kemenang-an setelah sebulan berjuang melawan hawa nafsu dan meningkatkan kualitas iman melalui ibadah selama ramadhan. Idul fitri merupakan momentum ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat-Nya, serta media membangun kesalehan sosial melalui zakat fitrah kepada yang berhak menerimanya.
Makna ‘idul fitri (kembali kepada kesucian) merujuk pada firman-Nya : “Maka hadapkan-lah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (pilihlah) fitrah Allah yang telah men-ciptakan manusia menurut fitrah itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. ar-Ruum : 30).
Makna ‘idul fitri dijelaskan para mufasir sebagai kembali pada aturan agama. Sebab, manusia diciptakan oleh Allah dengan fitrah berupa kecenderungan mengikuti agama yang lurus, yaitu agama tauhid. Berpegang kepada Islam adalah berpegang kepada fitrah Allah. Senantiasa berpegang pada aturan Allah merupakan hakikat ‘idul fitri.
Bagi manusia yang mampu meraih hakikat idul fitri, maka ia akan menyambut syawal dengan kegembiraan karena Allah. Hal ini merujuk pada firman-Nya : “Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus : 58).
Menurut Ibnu Katsir, kegembiraan tersebut akan diraih tatkala manusia telah mampu melenyapkan kotoran dan najis yang terdapat dalam hatinya. Dalam dirinya hanya hadir gemuruh rahmat dan hidayah-Nya. Sungguh, kegembiraan tiada tara melampaui gemerlap isi alam semesta.
Merujuk pada ayat di atas, memberi isyarat pentingnya upaya membangkitkan ruh ‘idul fitri pada makna sebenarnya. Sebab, makna ‘idul fitri telah mengalami “abrasi” kepenting-an dan “permainan” manusia akhir zaman. Ada beberapa indikasi abrasi pemahaman atas makna ‘idul fitri, antara lain :
Pertama, Hari kemerdekaan setelah sebulan terbatasi oleh puasa. Hadirnya ramadhan dirasakan sebagai “penjara” yang membatasi gerak dan keinginan. Begitu bulan syawal menjelang, kebebasan yang dipendam terlampiaskan tanpa kendali. Berbagai bentuk “pesta” yang bertentangan dengan agama dilakukannya. Mereka bagaikan “kuda liar” yang bebas di alam luas. Tipikal ini telah diingatkan oleh Allah melalui firman-Nya QS. al-A’raf : 179. Mereka semakin tersesat oleh kejahilan dan nafsu yang membelenggu akal dan hatinya.
Kedua, Hari kemenangan, tapi tanpa pernah melakukan perjuangan. Ia tak pernah melaku-kan apa-apa selama ramadhan, baik amaliah personal atau kolektif (vertikal dan horizontal). Bahkan, selama ramadhan justru tetap memfasilitasi prilaku “subhat” yang tak menghargai mereka yang berpuasa. Tapi begitu syawal tiba, ia justru merupakan komunitas paling terdepan menyuarakan kemenangan dengan asesoris penyambutan yang gegap gempita. Tipikal manusia seperti ini bagaikan apa yang dinukilkan Allah SWT melalui firman-Nya : “Di antara manusia ada yang berkata, Kami beriman kepada Allah dan hari akhir, padahal sesungguhnya mereka itu bukan lah orang-orang yang beriman” (QS. al-Baqarah : 8).
Mereka mungkin bisa mengelabui penilaian sesama, tapi tak mampu menipu Allah dan Rasul-Nya. Untuk itu, Rasulullah mengingat-kan : “Janganlah kalian merasa diri kalian suci, Allah lebih tahu akan orang-orang yang berbuat baik di antara kalian” (HR. Muslim).
Begitu jelas sabda Rasulullah atas Kemaha-tahuan Allah yang tanpa batas. Menganggap diri paling suci dengan penuh kesombongan. Sungguh, manusia terlalu “berhalusinasi” atas sedebu kebajikan yang dilakukan, namun lupa pada segunung kesalahan yang telah dilakukan. Menilai orang tak berharga. Pada-hal, mungkin orang yang dipandang rendah di maganya, ternyata begitu mulia dihadapan Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga, Hari terhapusnya segala dosa (fitrah atau kesucian). Hanya saja, masih sebatas asesories pakaian jasmani nan baru, tanpa pernah peduli terhadap pakaian rohani yang busuk dipenuhi tambalan. Hal ini diingatkan Allah melalui firman-Nya : “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (QS. al-A’raf : 26).
Penggunaan kata “mudah-mudahan” merupa-kan harapan Allah pada manusia untuk sadar. Namun, sangat sedikit manusia menyambut harapan-Nya sebagai harapan hamba untuk mengingat dan berharap ampunan-Nya.
Keempat, Hari kegembiraan, silaturrahim dan saling memaafkan. Namun, kalanya semua sebatas lipstik. Menyampaikan maaf sebatas hiasan media sosial. Sementara dendam kesumat dan dengki tetap kokoh menjulang tinggi menembus langit ketujuh. Bila bertemu menampilkan wajah memelas padahal tersimpan maksud tersembunyi yang begitu culas. Hadir begitu simpatik, tapi menyembu-nyikan sifat munafik. Untuk itu, Rasulullah telah mengingatkan karakter manusia yang demikian melalui sabdanya : “Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu (1) ketika berbicara ia dusta, (2) ketika berjanji ia mengingkari, dan (3) ketika ia diberi amanat ia berkhianat)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Meski peringatan Rasulullah demikian jelas, tapi anehnya manusia tipikal ini senantiasa hadir dan diperhitungkan. Walau begitu jelas tingkah lakunya, tapi tetap memperoleh ke-percayaan. Bahkan, semua kemungkaran yang dilakukan seakan menjadi kesalahan pihak yang dikhianati. Lidahnya begitu pintar “menari” membalikan kata dan fakta. Begitu besar dosa bagi pemberi amanah dan laknat bagi penerima amanah yang begitu jelas kemunafikannya. Mungkin dunia begitu muak melihat tingkah polah manusia. Sebab hatinya tertutup, mata menjadi buta, telinga menjadi tuli, dan mulut terkunci untuk meng-hadirkan kebenaran-Nya (QS. al-Baqarah : 7).
Kelima, Hari mengingatkan kembali tujuan hidup sebagai hamba-Nya (QS. al-A’raf : 172) dengan mengikuti ‘addin haniif (agama yang lurus). Untuk itu, kumandang takbir, tahmid, dan tahlil yang suci merupakan ikrar pengaku-an keimanan hamba kepada Rabb-nya Yang Maha Agung. Dimensi ini merupakan ikrar munajat penuh rindu bagi hamba pilihan.
Ikrar ini tentu didasarkan atas keberhasilan-nya memenangkan pada berbagai level ujian selama ramadhan. Sebab, mereka telah mampu meraih kemenangkan : (1) aspek spritual dengan membangun penghambaan hakiki. Tak ada iri dengki, fitnah kemunafikan, atau keangkuhan dan kezaliman. (2) aspek emosional dengan kesabaran, berbaik sangka pada-Nya, dan tawakal atas semua yang diupayakannya. (3) aspek kepekaan sosial dengan saling berbagi dan peduli. Kepekaan bukan sebatas pada aspek materi semata. Kepekaan sosial perlu menyentuh aspek psikis dalam berinterkasi. (4) aspek intelektual yang memiliki kemampuan menangkap pesan Allah. Kemampuan ini menghantarkannya tau dan mampu mem-bedakan baik dan buruk, benar dan salah, halal dan haram, dan varian lainnya.
Hamba yang mampu mengingatkan kembali tujuan penciptaan dengan berpegang teguh pada addin hanif merupakan manusia peraih fitrah yang sebenarnya. Ia akan memperoleh ampunan dari Allah layaknya anak yang baru lahir. Namun demikian, peraih fitrah hakiki sangat sulit dan terbatas. Sebab, manusia selalu menampilkan sosok yang unik. Meski ayat-Nya begitu jelas dan akal budi mampu memberi pertimbangan, namun semua tergantung kualitas isi hatinya. Hal ini dinyatakan Rasulullah melalui sabdanya : “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati ” (HR. Bukhari dan Muslim).
Merujuk hadis di atas, Syaikh Shaleh al-Munajjid menjelaskan bahwa : “Hati merupa-kan rajanya anggota badan dan sisanya adalah pasukannya. Maka bersama dengan hal ini, sebuah pasukan akan mengikuti rajanya, menjadi pengikutnya dalam kesetiaan, melaksanakan segala macam perintahnya, tidak menyelisihinya dalam segala macam perkara. Dengan demikian, jika tuannya dalam kebaikan, maka pasukan-nya berada dalam kebaikan pula. Sedangkan apabila rajanya dalam keburukan maka pasukannya akan ikut dalam keburukan. Dan tiada sesuatu yang bermanfaat disisi Allah, melainkan hati yang selamat.”
Demikian peran vital unsur hati bagi manusia. Bahkan, sosok ahli jiwa belum tentu memiliki hati yang sehat dalam makna hakiki. Sebab, kesehatan jiwa hanya tampil pada manusia yang beriman dan berakhlak mulia. Semua aktivitasnya selalu bersandarkan pada ke-cintaannya pada Allah semata. Mereka pe-milik hati bersih yang membawa keselamat-an (QS. Asy-Syu’ara’ : 88-89).
Pendapat ulama dan fenomena yang terjadi di atas secara tematik diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya : “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi darimu…” (QS. al-Ahzab: 7). Untuk itu, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus,…” (QS. ar-Ruum : 30). Agar manusia memahami dan mengikuti agama-Nya, maka Allah utus para nabi dan Rasul-Ny : “Ini (Muhammad) adalah seorang pemberi peringatan di antara para pemberi peringatan yang telah terdahulu” (QS. an-Najm : 56). Meski demikian, manusia acapkali melupakan dan mendustakan ikrar (mempersaksikan) dan addin hanif yang dibawa utusan-Nya. Hal ini dinyatakan Allah melalui firman-Nya : “Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami dapati kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. al-A’raf: 102).
Sungguh Allah telah mengingkatkan manusia dalam al-Quran. Ada beberapa reaksi hamba terhadap firman-Nya, yaitu : (1) tak pernah membaca dan tak pernah mau tau. (2) hanya sekedar membaca tanpa tau maknanya. (3) membaca dan tau makna, tapi enggan me-laksanakannya.
Andai reaksi yang ditampilkan karena kejahil-an, maka dampaknya tidak begitu besar. Tapi, bila pelaku keingkaran hadir dari manusia pe-milik ilmu tapi fasik, maka kehacuran akan bersifat masif. Sayangnya, tipikal ini acapkali didaulat tampil “dipanggung sandiwara” dengan kekuatan kendali tanpa batas. Ketika penonton hanya sebatas melihat tanpa mampu menasehati, maka tampil raja yang tanpa bisa tersentuh. Sebab, siapa saja yang menyentuh pasti akan binasa.
Untuk itu, ramadhan hadir untuk mengingat-kan manusia agar kembali pada fitrah-Nya. Ramadhan sebagai wujud pancaran rahman dan rahim-Nya yang tak terbatas oleh ruang dan waktu. Mengingatkan pancaran cinta-Nya (Nur Allah) melalui akhlak Rasulullah SAW (Nur Muhammad). Kesemuanya akan tersimpul pada wujud karakter hamba yang mampu meraih fitrah-Nya melalui ‘idul fitri yang hakiki (taqwa).
Sungguh keliru bila ramadhan hanya sebatas rutinitas amaliah tanpa bekas. Nuzul Quran tanpa mampu “menuzulkannya” dalam diri dan mengisi seluruh pori-pori. Lailatul Qadar yang dinanti tanpa perubahan yang berarti. Zakat fitrah yang hanya pelepas kewajiban yang tak mampu mengikis kezaliman dan kebencian pada sesama. Atau hadirnya ‘idul fitri sebatas euforia kemerdekaan dalam penjajahan nafsu dunia yang semakin jelas, mengganas, dan menggilas.
Semua terpulang pada kearifan dan kualitas iman pada diri. Apakah berupaya menjawab sapaan Allah (hai orang-orang yang beriman) dengan ketaqwaan atau sebatas canda dan rutinitas tanpa makna. Pada akhirnya, semua akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dilaku-kan. Manusia bisa ditipu dengan retorika “lidah bercabang seribu”. Menyebar fitnah hanya cara licik untuk memperkuat dalil pembelokan kebenaran guna menghancurkan sesama. Tapi, semua “jualan murahan” hanya menarik dan dipercaya oleh pribadi yang sederajat (sekufu). Berharap suci (fitrah), tapi nyatanya bernajis. Namun, bagi hamba yang mencapai tingkatan jalan ‘idul fitri, hamparan addin hanif menjadikanya semakin bijaksana menilai karakter manusia yang tersembunyi.
Selamat tinggal ramadhan 1446 H. Kehangat-anmu akan selalu menjalar di sekujur tubuh-ku. Kehangatan yang akan selalu kurasakan sepanjang waktu untuk menjaga asa iman dan rinduku pada Allah semata. Aamiin..
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Terbit di Kolom Betuah harian Riau Pos Online tgl. 24 Maret 2025