Oleh : Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M. Ag
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Secara verbal, sering didengar teriakan dan ungkapan “aku Pancasilais, Garuda di dadaku”. Ungkapan verbal juga sering didengar bahwa “aku pemeluk agama ini, itu, atau ungkapan lain sebagainya”. Makna verbal memang perlu sebagai bentuk komitmen lisan. Namun, ungkapan verbal tersebut tak banyak mampu menyelesaikan masalah, baik dalam urusan peribadi, berbangsa maupun bernegara.
Dalam logika sederhana, orang pintar tak etis menyebut dirinya pintar. Kepintaran diri biarlah orang lain yang menilai dan menyatakannya. Tentu penilaian pihak luar dengan bukti yang terlihat dari hasil pikiran, karya dan prilakunya. Justru yang sering mengatakan dirinya pintar patut disangsikan karena mungkin sebenarnya tidak pintar.
Ada asumsi pengakuannya hanya upaya menutupi ketidakpintarannya dengan menyatakan dirinya pintar. Demikian pula tentang menyatakan keshalehan diri, menyatakan keberhasilan diri, menganggap diri paling ganggap benar dan menganggap orang salah, menyatakan kesederhanaan diri, dan sebagainya yang diucapkan atau dipublikasikan sesungguhnya merupakan wujud kebalikan apa yang disebutkan.
Dalam konteks kata Pancasilais, ungkapan verbal perlu dimunculkan (pada saat yang perlu, namun patut diiringi dengan sikap diri sebagai cerminan substansi nilai-nilai pancasila. Wujud substansi nilai-nilai Pancasila bila terimplementasi dari tata sikap dan prilaku seluruh anak bangsa. Tata sikap nilai-nilai Pancasila merupakan wujud kelima sila pada Pancasila yang sebenarnya.
Hadirnya BPIP menjadi alternatif membumikan Pancasila setelah sekian lama fakum pasca reformasi. Di tengah kefakuman tersebut, berakibat pada hasil survey bahwa segelintir generasi muda ada yang lupa dengan butir-butir Pancasila (hasil penelitian tertuang pada republika online 6 April 2016). Bila butir-butir Pancasila telah lupa, bagaimana mungkin mampu mengamalkan nilai-nilainya. Bila hal ini terjadi, masihkan menyebut diri Pancasilais?. Disadari bahwa salah satu penyebabnya afalah lemahnya sosialisasi nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat, baik secara formal maupun non formal.
Menyadari kondisi ini, pemerintah memandang perlu untuk mengembalikan Pancasila agar mampu lestari dan dirujuk dalam seluruh aktivitas berbangsa dan bernegara. Kelima sila Pancasila merupakan ruh karakter bangsa Indonesia. Panvasila bukan agama, tapi isinya selaras dengan ruh ajaran agama. Rumusannya merupakan olah pikir (ijtihad) para ulama yang tak perlu disangsikan kapasitasnya dan ijtihad mereka telah disepakati seluruh bangsa Indonesia.
Peradaban Indonesia perlu dibangun dalam ruh peradaban Pancasila. Untuk itu, perlu ditopang beberapa pendekatan agar mampu diwujudkan, antara lain :
Pertama, Jangan Sekali-kali Lupa Sejarah (nasehat Soekarno). Rumusan Pancasila perlu ditopang atas penyelusuran sejarah yang ikut meletarbelakanginya. Begitu cerdas pilihan katanya, sangat dalam maknanya, dan mampu mengakomodir seluruhelemen bangsa. Mereka tak gegabah mengatakan Pancasilais, tapi seluruh aktivitas dan kebijakan yang dirumuskan bersandar pada kelima sila Pancasila. Hanya dengan demikian akan menyadarkan bahwa peradaban Indonesia akan terwujud tatkala kelima Sila Pancasila dilaksanakan secara baik. Dalam hal ini, Sutan Syahrir pernah mengatakan bahwa “kita hendak bekerja atas dasar kemerdekaan jiwa orang, atas dasar kerakyatan, atas dasar sukarela, mufakat dan kerjasama, dan tidak dengan paksaan seperti yang telah dilakukan di negeri-negeri otoriter dan diktator. Hanya semangat kebangsaan yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia”. Sungguh dalam makna yang dituangkan, sekaligus cermin untuk mengoreksi diri tatkala amanah didapatkan.
Kedua, Hindari Feodalisme (nasehat Bung Hatta). Seakan sadar bahaya feodalisme, bung Hatta jauh hari telah mengatakan bahaya feodalisme. Bahayanya bukan saja bertentangan dengan Pancasila, tapi dapat meluluhlantakkan tatanan berbangsa dan bernegara negeri ini. Bila feodalisme menjadi pilihan kebijakan, maka otomatis telah menginjak-injak Pancasila.
Pancasila memberikan ruang pengembangan intelektual imajinasi anak bangsa dalam membangun masa depan. Namun, ruang tersebut perlu dalam koridor yang benar dan menjunjung tinggi kesantunan sebagai bangsa yang berperadaban. Meski Pancasila bukan “kitab suci agama”, namun kelima sila yang ada tak bertentangan, tapi justru relevan dengan ajaran agama.
Ketiga, Junjung Tinggi Falsafah Negara (Pancasila) sebagai Karakter Bangsa. Pancasilais bukan sebatas ungkapan lisan (verbal), tapi wujud nyata kelima sila dalam seluruh dimensi kehidupan bangsa Indonesia. Orang yang Pancasilais tak pernah menyebut dirinya Pancasilais. Tapi lihatlah bagaimana sepak terjangnya dalam keseharian. Di situ akan terlihat apakah prilakunya merupakan wujud kelima sila Pancasila, atau justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan Pancasila. Dikhawatirkan justru yang berteriak Pancasilais adalah yang menginjak-injak Pancasila atau bak pepatah “maling berteriak maling”. Secara logika, apa yang muncul keluar adalah wujud apa yang ada di dalam. Orang yang menilai dan menuduh orang lain salah, berarti dirinya adalah pelaku kesalahan karena tau orang lain berbuat salah. Bila tidak, dari mana dia tau orang berbuat kesalahan?
Pancasilais adalah sosok pribadi yang memiliki watak (karakter) dengan nilai-nilai SilaPancasila dalam mengisi kemerdekaan. Rumusan Pancasila digali dari warna karakter bangsa Indonesia. Bila karakter bertolak belakang dengan Pancasila, maka bukan Pancasilais yang sebenarnya.
Berteriak “aku Pancasilais” tak akan banyak bermanfaat bila karakter diri dan kebijakan yang dibuat justru keluar dari nilai-nilai luhur Pancasila. Substansi nilai-nilai Pancasila perlu dilihat dari bangunan peradaban setiap individu (karakter/watak) dan peradaban sosial yang dikembangkan dalam realitas berbangsa dan bernegara.
Sudah saatnya secara bersama melakukan evaluasi diri. Sudahkah nilai-nilai Pancasila diamalkan dalam setiap langkah kebijakan. Hanya dengan menjadikan Pancasila sebagai barometer pembangunan, kita mampu merawat dan mempertahankan Pancasila dalam tatanan berbangsa dan bernegara.
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab.
Tulisan ini terbit di harian Riau Pos tanggal 09 September 2020.