Oleh : Samsul Nizar
Guru Besar & Ketua STAIN Bengkalis
Semua tau makhluk Allah yang bernama burung dan semut. Namun, tak semua sempat memikirkan dan mengambil pelajaran atas kedua jenis makhluk tersebut. Padahal, keduanya memiliki banyak i’tibar untuk manusia agar memperbaiki diri.
Meski burung dan semut diciptakan tak sesempurna penciptaan manusia, baik secara biologis maupun psikologis (QS. At-Tiin : 4), apalagi keduanya tidak pula memiliki peradaban yang dinamis seperti yang dimiliki manusia, namun banyak hal yang bisa dipetik dari burung dan semut untuk cermin bagi manusia agar tak pongah atas kesempurnaan penciptaannya. Tak heran bila Allah menceritakan burung dan semut dalam al-Quran. Hal ini dapat dilihat dari Q.S an-Naml dan mengutus burung Ababil dalam Q.S al-Fiil, atau burung Hud-Hud pada kisah nabi Sulaiman. Pilihan tersebut bukan tanpa maksud. Adapun di antara i’tibar keduanya adalah :
Pertama, burung memiliki daya jelajah yang tinggi, melesat jauh menembus awan nan menjulang tinggi. Namun, pada saatnya burung tak pernah lupa turun ke bumi mencari ranting pohon untuk bertengger. Sungguh bijak dN sadar seekor burung. Meski mampu menembus awan, tapi tak pernah lupa bahwa pada saatnya harus turun dan hinggap diranting dahan.
Sedangkan semut, meski tak memiliki daya jelajah tinggi, kekompakan semut patut jadi renungan. Meski sulit mencari rezeki, namun tatkala mendapatkannya, semua semut menikmati dengan berbagi. Semut tak pernah berkelahi mendapatkan sepotong roti, meski mungkin kelaparan melilit perutnya. Semangat kekompakan, hidup berbagi, dan saling bekerjasama (bergotong royong) sesuai tupoksi menjadi citra abadi semut. Sikap bijak tatkala memperoleh rezeki berlimpah, namun tetap bersyukur tanpa putus asa tatkala paceklik menghampiri. Meski berjalan bersama dan tak terpisahkan bila bekerja, ranting yang dilalui tak pernah rusak sedikit jua. Begitu kearifan cosmos yang ditunjukkan oleh burung dan semut.
Kedua, ketika burung masih hidup, semut akan menjadi santapan lezat baginya. Namun, tatkala burung mati, menjadi makanan lezat pula bagi si semut. Burung meski hebat menyantap semut ketika hidupnya, namun pada saat diri menjadi bangkai, semut pula yang berbagi rezeki atas si burung. Pemandangan yang memperlihatkan kehebatan sangat terbatas dan menghargai kelebihan orang lain.
Ketiga, burung dan semut ternyata saling membantu. Meski semasa hidup semut menjadi “korban” dijadikan santapan burung. Namun tatkala burung mati, semut membantu mengurai biologis burung agar tidak menyebarkan bau tak sedap bagi sekelilingnya. Seakan tak ada dendam bagi semut. Tatkala tak bisa membalas “kejahatan” burung semasa hidup, semut membalas kebaikan ketika burung telah menjadi bangkai. Meski semut bertubuh kecil, tapi manfaat yang diberikan pada bangkai burung demikian besar bagi kebahagiaan makhluk lainnya, termasuk manusia. Alangkah indah bisa berbuat kebaikan, meski pada musuh yang telah tiada.
Tatkala manusia mampu memetik sisi positif perjalanan burung dan semut, terasa begitu kecilnya manusia. Tatkala memiliki kekuatan berada menjulang tinggi ke “angkasa”, acapkali lupa asalnya dan turun ke bumi. Ketika burung hinggap di ranting tak ada yang patah. Namun manusia berbeda pula. Jangankan ranting, gunung kokoh yang menjadi tempat untuk “hinggap” hancur berkeping-keping karena keserakahannya. Kekuasaan –dengan berbagai variannya– menjadikan manusia menyebar malapetaka dengan kepongahan tak terbatas. Wajar bila tatkala sayapnya patah (kekuasaan dan materi) dan tak lagi mempu terbang lagi, manusia dilupakan dan dihujat pada sisa kehidupan bahkan pasca kehidupannya. Hal ini banyak menimpa pada manusia yang tatkala kokoh sayapnya, namun lupa akan asalnya.
Meski demikian, ada segelintir manusia belajar dengan burung. Tatkala sayap kokoh mengepak menembus angkasa, tapi tak lupa turun ke bumi. Meski hinggap diranting, burung tak pernah mematahkan ranting tempat hinggap. Begitu tinggi “keshalehan sosial” yang ditunjukkannya yang tak merusak lingkungan apalagi pergaulan dengan sesamanya. Tipikal manusia yang belajar dengan burung tak akan merusak tempatnya hinggap yang sementara ini, apalagi sampai “menjual dan menghancurkannya”. Bila tipikal ini dijadikan karakter diri, manusia dalam hidupnya akan selalu diingat dan dihormati. Ia tidak angkuh dengan daya kuasanya, sembari sadar keterbatasannya yang tak mampu menembus langit. Mereka selalu diingat dan dikenang meski tak lagi ada di muka bumi.
Sementara semut mengajarkan hidup tanpa dendam, tekun, hidup gotong royong dan bekerja sesuai pembagian kerja, hidup saling berbagi tanpa ingin memonopoli, hidup hemat dan tidak menghambur-hamburkan apa yang dimiliki, atau meski tak bisa terbang tinggi namun tak pernah iri pada burung. Semut taat pada tugas dan posisinya. Para pekerja sibuk dengan kerjanya, para penjaga (punggawa) sibuk dengan tugas pengamanannya, atau raja membagi habis tugas dan mengoyomi seluruh rakyatnya dengan bijaksana. Ketika sisi karakter semut menjadi pelajaran, sungguh indah kehidupan. Tak ada yang memandang diri lebih baik di banding yang lain. Sebab, kebaikan dan kehebatan diri biar dinilai dan dilihat oleh orang lain, bukan diri sendiri apalagi dengan penilaian yang “dibeli” oleh materi atau kekuasaan sesaat. Namun sayangnya, acapkali manusia melihat kebaikan dan kehebatan diri dari penilaiannya sendiri yang berakibat pada sikap arogan dan pongah dalam tatanan kehidupan.
Sungguh, bila dibandingkan dengan makhluk Allah yang sangat kecil, ternyata manusia kadang kalah mulia. Predikat yang diberikan Allah sebagai khalifah rahmatan lil ‘aalamiin harusnya dilakukan dengan bijak melalui kebajikan dan sikap tawadhu’ yang dimiliki. Hanya dengan burung dan semut saja ternyata manusia belum mampu menjalaninya, apatah lagi dengan makhluk Allah lainnya yang banyak bertasybih mengangungkan Allah. Padahal, mereka tak memiliki potensi istimewa sebagaimana potensi yang dimiliki manusia. Lalu, masihkan kita mengganggap paling digjaya dan mulia ??
Wa Allahua’lam bi al-Shawwab
Terbit di Harian Riau Pos pada tanggal 26 April 2021